Rabu, 28 Maret 2012

LIBERALISASI PENDIDIKAN ; SINOPSIS BUKU


Judul : liberalisasi pendidikan
Pengarang : Mu'arif
Penerbit : Pinus Book Publisher
Tahun terbit : Januari, 2008

a. Garis Besar Isi Buku
Sejak zaman kolonial, pendidikan di Indonesia merupakan representasi dari upaya kelanggenan kekuasaan di Indonesia, semisal sekolah rakyat atau sekolah-sekolah yang "beratap" pemerintahan ketika itu, tidak semata-mata bertujuan mencerdaskan anak bangsa, melainkan mencetak pekerja-pekerja yang sepenuhnya patuh pada sistem kapitalis yang dijalankan oleh penjajah.

Tujuan pendidikan semacam itu, ternyata menurut Mu'arif masih saja dilestarikan hingga era demokrasi sekarang, dengan format-format yang lebih licin dan tersistem sedemikian rupa. Pemerhati pendidikan nasional ini, menumpahkan berbagai kritikan-kritikannya dalam tulisan-tulisan yang ia buku kan, dan diberi judul "liberalisasi pendidikan". Lewat buku ini, Mu'arif mencoba untuk menunjukkan wajah buram pendidikan nasional kita hingga sekarang. Berbagai kegiatan pendidikan yang seharusnya bertujuan untuk mengentaskan kebodohan bangsa, justru digunakan sebagai alat politik, alat untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan. Corak pendidikan harus sesuai dengan ideologi kekuasaan pada saat itu. Sehingga yang terjadi bukan mencetak akademisi-akademisi yang berkarakter dan mandiri, melainkan hanya mencetak "kuli" dan "babu". Pendidikan hanya menjadi salah satu "kendaraan politik" yang sering dipergunakan. Hal itu jelas terlihat dari kalimat pengantar yang ia tulis dalam bukunya:
" setiap kali pembicaraan seputar pendidikan nasional, pada saat yang bersamaan, bayang-bayang ideologi tertentu selalu mengikuti. Yang pasti, ideologi tersebut merupakan representasi dari kepentingan rezim penguasa. Pendidikan nasional yang berada di bawah bayang-bayang ideologi penguasa kemudian menjelma menjadi jalur paling efektif untuk melanggengkan kekuasaan."
Penyelewengan fungsi pendidikan nasional ini, menurut Mu'arif dalam buku tersebut, semakin lama semakin matang, bahkan kini telah membudaya. Benih-benih kesalahan pendidikan yang diwariskan oleh masa kolonialis kapitalis mulai berakar semenjak rezim orde baru, namun hanya sebatas kasat mata. Pada masa itu, pendidikan telah dijadikan sebagai "kambing hitam". Pendidikan telah dijadikan sebagai ajang bulan-bulanan kepentingan politik. Pendidikan juga telah menjadi media indoktrinasi untuk menciptakan suatu stigma akan kebesaran dan kemakmuran bangsa di bawah sebuah rezim. Hal ini menurut Mu'arif dapat dibuktikan dengan menganalisis beberapa fenomena, dintaranya, mata pelajaran sejarah yang ternyata dibelokkan oleh kepentingan rezim untuk maksud-maksud tertentu. Beberapa mata pelajaran, pelatihan-pelatihan seta program pendidikan lain lebih diarahkan pada peneguhan nilai-nilah yang kemudian dimanfaatkan dengan baik oleh rezim penguasa. Hal ini pun bisa dilihat dari beberapa kasus, seperti pelaksanaan penataran-penataran pedoman penghayatan dan pengamalan pancasila (P4), pelajaran pendidikan moral pancasila (PMP), pendidikan sejarah perjuangan bangsa (PSPB) dan lain-lain.
Begitu pun pada masa reformasi (1998), pendidikan nasional masih belum menemukan formatnya yang ideal. Atau lebih pada pengkonsep dan pelaksana pendidikan tersebut yang masih terkesan "takut" untuk mewujudkan pendidikan nasional yang sebaik-baiknya. Mulai dari masa Yahya Muhaimin hingga masa Bambang Sudibyo tidak ada perubahan signifikan yang terjadi. Bahkan beberapa kebijakan yang ditempuh justru memberikan ruang yang lebih longgar untuk menggunakan pendidikan nasional sebagai alat untuk meraup untung dan kekuasaan. Tanpa kita pungkiri bahwa usaha untuk berbenah juga dilakukan.
Hal ini menurut Mu'arif diakibatkan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme telah mengakar kuat pada sistem pemerintahan Indonesia, sehingga sektor pendidikan pun tidak lepas dari penyebaran "virus-virus" tersebut. Hal ini jelas terlihat pada kebijakan-kebijakan controversial. Mulai dari kebijakan WAJAR 12 tahun, ujian nasinal (UN) hingga kasus privatisasi pendidikan, masalah subsidi pendidikan setelah kenaikan bbm, biaya operasional sekolah (BOS) dan terakhir tentang badan hukum pendidikan (BHP).
Juga yang tak kalah pentingnya yang harus dicermati adalah kebijakan otonomi pendidikan yang mula-mula menjadi harapan, ternyata lebih mengarah pada privatisasi yang merupakan indikasi bahwa sistem pendidikan nasional telah menggunakan "paradigma pendidikan liberal" dalam implementasinya. Paradigma liberal merupakan ruh dari sistem global kapitalis yang menawarkan pasar secara tak sehat. Sehingga dari sini Mu'arif menggambarkan bahwa ke depan pendidikan akan semakin mahal, menejemennya akan diatur dengan manejemen profit, yang berakibat rakyat jelata -yang untuk mencukupi kebuTuhan sehari-hari saja susah- harus mengubur impian untuk mencicipi pendidikan. Lebih jelas Mu'arif menuliskan:
"dibalik agenda otonomi pendidikan ternyata diboncengi dengan suatu kepentingan. Di balik itu semua ternyata muncul kekuatan kapitalisme yang hendak menjamah wilayah pendidikan nasional. Dengan demikian, ke depan, pendidikan di Indonesia sedang berhadapan dengan fenomena kapitalisasi".
Hal yang perlu dikritsi pula menurut Mu'arif adalah komitmen pemerintah yang secara konstitusional tidak bernyali mewujudkan anggaran pendidikan nasional sebesar minimal 20% (pasal 31 ayat 4). Mu'arif menambahkan bahwa mulai dari kepemimpinan Megawati sampai Susilo Bambang Yudhoyono, tak satu pun yang cukup bernyali untuk merealisasikan pasal 31 ayat 4. Pemerintah setengah hati memandang pendidikan nasional.
Dan masih banyak lagi kritik-kritik yang ditumpahkan Mu'arif dalam buku ini. Semua itu bertujuan untuk mewujudkan keadilan dalam sistem pendidikan nasional, mewujudkan sistem pendidikan yang betul-betul bertujuan untuk mencerdaskan bangsa dan mengentaskan kemiskinan sebagai akibat dari terlepasnya rakyat dari jerat kebodohan.

b. Kritik Penulis Terhadap Isi Buku Mengenai " Pengangguran Terselubung yang Mencemaskan"

dalam bab ke 5 buku Riberalisasi Pendidikan, Mu'arif menyoroti masalah pengangguran yang semakin lama semakin mengkhawatirkan. Dalam buku tersebut, Mu'arif mengutip tajuk rencana harian Bernas Jogja, edisi selasa, 14 desember 2004 yang menyebutkan jumlah pengangguran secara nasional mencapai 519.000 orang dan berstatus sebagai pengangguran terselubung (akademik). juga mengutip harian Kompas Jogja yang memberitakan bahwa setiap tahunnya kota Yogyakarta menghasilkan 1.000 pengangguran yang umumnya mereka adalah kalangan yang baru menyelesaikan studi, baik lulusan SMA maupun perguruan tinggi.
Selanjutnya ia mengemukakan bahwa, fenomena pengangguran ini merupakan hal kronis yang segera harus dianalisis, dan dicarikan solusinya, melihat banyak dari pengangguran tersebut ternyata berasal dari orang-orang lulusan pendidikan hingga jenjang s1. Ia juga mengatakan bahwa masalah ini juga menjadi bukti kegagalan pendidikan yang hanya melahirkan out put yang tidak memiliki daya saing dengan yang lain. Akibatnya, mereka yang tidak mampu bersaing dengan yang lain akan tersisih dan menjadi beban masyarakat.
Kemudian Mu'arif menjelaskan bahwa penyebab problem pendidikan dalam hal ini karena tidak adanya orientasi untuk memandirikan para insan akademik. Sehingga pendidikan hanya menciptakan manusia-manusia yang kecanduan atau ketergantungan kepada pihak lain. Untuk itu, menurutnya satu-satunya jalan untuk menyelesaikan masalah ini yaitu dengan merekonstruksi paradigma pendidikan nasional selama ini. Mu'arif menjelaskan bahwa paradigma pendidikan harus diorientasikan pada kemandirian dan tidak boleh ketergantungan. Salah satu ketergantungan menurut Mu'arif dalam buku itu ialah dengan disekat-sekatnya masing-masing universitas dengan fakultas-fakultas dan jurusan-jurusan. Hal ini menurut Mu'arif mengakibatkan ketergantungan pada insan-insan akademik. Sebagai contoh seorang yang lulus fakultas Syariah jurusan Perbandingan Mazhab (PMH) nantinya hanya akan mencari peluang menjadi hakim di peradilan agama dan akan mengabaikan atau merasa tidak berkompeten untuk peluang-peluang lain.

Namun menurut saya (penulis review ini), apa yang ditawarkan oleh Mu'arif dalam menyelesaikan masalah pengangguran kurang tepat. karena di sini Mu'arif tidak menjelaskan paradigma pendidikan nasional kita seperti apa secara utuhnya. Tentunya untuk bersikap adil, maka paradigma itu harus dibangun atas undang-undang sah yang menjelaskan tentang sistem pendidikan, sementara jika kita ingin melihat undang-undang yang mengatur tentang sistem pendidikan nasional nomor 2 tahun 1989 pada bab ke II pasal 4:
"pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan."
Melihat pasal di atas, diketahui bahwa, apa yang Mu'arif sampaikan sebagai bentuk orientasi "kemandirian" itu sendiri sudah tercantum. Sehingga merekonstruksi paradigma itu tidaklah diperlukan. Tetapi membangun paradigma yang ada sekarang sesuai dengan undang-undang tersebut yang harus dilakukan. Artinya perlu ada sosialisasi undang-undang pada masyarakat, utamanya para pelaku pendidikan, semisal guru-guru, murid-murid dan element-element pendidikan lainnya.
Ketergantungan yang dimaksud Mu'arif diatas juga penulis rasa sangatlah naïf. karena pada kenyatannya tidaklah demikian. Mungkin beberapa orang yang dijadikan contoh memang ada, tapi hal itu tidak bisa mewakili pada umumnya, karena pada kenyataannya, banyak dari lulusan fakultas berbeda ternyata berkerja tidak sesuai dengan kompetennya. Spesialisasi yang dilakukan itu juga sebagai bentuk pengembangan minat dan bakat bagi objek pendidikan (dalam hal ini murid, santri atau mahasiswa) dan dalam spesialisasi tersebut tidak ada paksaan bagi siswa untuk bagian-bagian yang harus ia tempuh. Jadi pada dasarnya spesialisasi itu tidak bertujuan untuk membuat para akademisi memiliki ketergantungan, tetapi lebih pada menjaga kualitas dan keinginan belajar agar sesuai dengan minat dan bakat objek pendidikan. Lagi pula, sistem seperti ini tidak hanya dilakukan oleh Indonesia belaka, juga dilakukan oleh negara-negara maju, dan hasilnya tidak mengecewakan. Meski memang menurut saya spesialisasi tersebtu juga berdampak kurang baik, seperti kurangnya pelajaran dasar yang seharusnya masih diberikan dalam bentuk spesialisasi apapun, seperti pelajaran agama.
Jadi solusinya bukan meniadakan spesialisai tersebut, tetapi lebih diarahkan pada pengembangan kreatifitasan dalam kompetensi insan akademik, bentuk pengajaran tidak dititik beratkan pada teori semata, melainkan praktek, untuk itu perlu adanya badan pengawas, yang mengawasi aplikasi belajar mengajar. Apakah sudah sesuai ataukah tidak. Dengan begitu maka insan akademik yang dilahirkan tidak akan menunggu lowongan kerja, tetapi menciptakan lapangan kerja sendiri, yang sesuai dengan kualitas ilmunya dan nantinya akan membuka lapangan-lapangan keja buat yang lainnya.

0 komentar:

Posting Komentar

bagi yang tau kesopanan, silahkan berkomentar

 
;