TINTA

Seribu darah pejuang sama berharganya dengan setinta ulama

Mereka yang berjuang bukan di medan perang

Tanpa baju besi dan sebilah pedang yang tergenggam

Lucutan kain lusuh dan basah jenggot yang terngenang

Tapi kata-kata mereka seperti deretan kuda yang tak berhenti menerjang

Katakan pada dunia pedang apa yang tak bisa pecah

Tameng mana yang tak retak

Jiwa mana yang tak lenyap

Tapi yakinkan pada kami

Ketika kata-kata menembus tulang sumsum mu..

Mendarah daging dalam jasadmu

Merasuki jiwamu..

Adakah tajam bambu lebih sakit dari tuduhan pelor

Teriakan berontak lebih keras dari bunyi meriam

Hingga anak kecil menyeret pedangnya ingin berperang

Disebabkan sebaris kalimat yang ia dengar

Merubah jiwa kerdilnya jadi macan

Apalah Ibnu Taimiyah yang tak pernah menghunus pedang

Ibnul Qayyim yang menuliskan kata-katanya di atas tulang

Maududi yang berkobar pada beribu buruh di tengah halaman

Ghazali, Said Kutub, Rasyid Ridha, Natsir, Hamka..adakah mereka telah membunuh seribu orang..?

Namun kata-kata mereka jadi tentara

Tak kenal mati, tak kenal padam

Membunuh dengan pelan, membangkitkan tanpa sadar

Dan saat dunia memandang,

Mereka berdiri seperti pahlawan

Atau lihat Budi Utomo, tak cukupkah menyediakan tentara buat berperang

Kenapa harus berteriak lantang sebelum menerjang?

Karena sajak bukanlah sembarangan

Saat kata-kata berlari..

Pasukan-pasukan bisa menjadi seperti setan

Bukan soal pedang, bukan soal kekuasaan

Ini adalah kata-kata yang tak bisa dipenggal

Letakkan jiwa mu pada altar sajak

Tuliskan gagasanmu pada birunya langit

Seberapa hebat kau hingga tak bisa dilupakan

Tulisanmu.. melarikan keturunan-keturunan menari di pusaramu terkenang

Tubuh ini tanah dan fana

Namun tulisan mu mengabadikan jiwa

Rasa dan cipta hidup yang terurai dengan tinta

Melebihi ratusan masa, dikeruk zaman tak habis-habisnya

Berbahagialah..!!

Berbahagialah.. yang tertuliskan..

Sebab keturunan adam akan berkata

Yah.. ini tulisannya.. dialah penulisnya..