Jumat, 20 April 2012

SALAFI ATAU WAHABI ???


Dewasa ini, di negeri kita Indonesia, telah lahir dan bermunculan faham-faham dan gerakan yang banyak serta beraneka ragam, setiap faham dan gerakan ini memiliki visi, misi dan karasteristik yang berbeda-beda, meski pada segi-segi tertentu juga memiliki kesamaan. Hal ini –berdasarkan analisis penulis- diakibatkan oleh pola negara berkembang yang menuntut bermunculannya berbagai macam faham dan gerakan tersebut, sebagai respon rakyat terhadap masalah-masalah yang ada ditiap fase-fase perkembangan.

Seperti halnya muncul berbagai macam gerakan-gerakan yang bertujuan untuk memberantas kezaliman penjajah di tiap daerah, contohnya gerakan  wali songo yang membentuk barisan-barisan santri untuk membantu pihak kerajaan melawan belanda yang mulai menikamkan kuku penjajahannya, atau barisan Pangeran Diponegoro, Laskar Jihad di Aceh dan gerakan di berbagai daerah lainnya. Kemudian gerakan-gerakan yang muncul dari  pertikaian dan perselisihan pendapat antara kaum muda dan kaum tua atau kaum modernis dengan tradisionalis, yaitu kaum yang masih memengang teguh pola-pola tradisional baik itu pada aspek keagamaan, politik dan pendidikan, dengan kaum muda yang telah memperoleh berbagai macam pelajaran yang didapat dari negara-negara berkembang, dan mulai jengah terhadap kejumudan pengetahuan yang menurut mereka menjadi salah satu sebab penting masih terjajah dan terbelakangnya masyarakat Indonesia, sehingga perlu adanya perombakan bentuk, kurikulum, standar kompetensi, pola pembelajaran yang itu semua harus menyesuaikan perkembangan zaman. Pada kurun ini lahir berbagai macam gerakan, baik itu di kubu kaum modernis seperti Sumatra Tawalib, sebuah organisasi pelajar pertama, yang diprakarsai oleh pelajar-pelajar surau jembatan besi. Kemudian persatuan muslim Indonesia, jami'at al-Khair, al-Irsyad, Muhammadiyah dan organisasi-organisasi lainnya. Untuk mengimbangi berbagai macam gerakan tersebut, kaum tradisionalis juga membentuk beberapa organisasi diantaranya Sarikat  Adat Alam dipimpin oleh Datuk Sutan Mahardja, dan juga Nahdatul Ulama di daerah Jawa[1].
Kemudian pada era 80an hingga sekarang, gerakan-gerakan baru bermunculan, yang dipicu oleh berbagai keadaan, utamanya pada faham keIslaman.
Dari paham keIslaman ini setidaknya ada beberapa organisasi yang bermunculan yang bisa digolongkan berdasarkan respek masyarakat, menjadi gerakan Islam yang mudah diterima dan tidak mudah diterima .
Salah satu golongan yang muncul dari pemahaman agama utamanya agama Islam ialah apa yang kita kenal sebagai salafi, atau golongan salaf, dan pada umumnya orang menyebutnya dengan Wahabi. Golongan ini termasuk pada gerakan yang tidak mudah diterima oleh masyakarat, sebab banyaknya berita yang beredar bahwa golongan ini termasuk gerakan radikal, dakwahnya keras dan gampang mengkafirkan orang, setidaknya itulah yang dipahami oleh kebanyakan masyarakat, meski begitu, beberapa orang pula (jika tidak dikatakan sedikit) menyatakan bahwa salaf adalah gerakan seperti pada umumnya, apa yang diajarkan dan di dakwahkan tidak menyimpang dari ajaran Islam. Tidak hanya itu, pengklaiman atas gerakan salaf banyak dilakukan oleh organisasi atau perkumpulan di Indonesia, yang tidak hanya menimbulkan berbagai macam faham, namun hingga saling menyalahkan.
Berangkat dari permasalahan ini, kami mencoba untuk membahas gerakan salafi, namun kesadaran bahwa sedikitnya literatur yang kami miliki, dan sangat susah memberikan karateristik salafi sebenarnya di tengah-tengah pengklaiman tersebut, maka kami sebelumnya memohon maaf jika didalam tulisan ini terdapat kesalahan ataupun sangat sedikitnya keterangan yang dapat kami sajikan.

SIAPA YANG DISEBUT SALAFI?
Sebagaimana yang telah kami jelaskan pada latar belakang masalah, pengklaiman salafi telah bermunculan, untuk itu, kami mencoba membatasinya dengan pengertian, baik itu secara kebahasa'an, istilah dan dari pendekatan inti ajaran dan sejarah, agar dengan sendirinya kita bisa membatasi dan memberikan substansi tentang golongan yang sejatinya disebut salaf.

Kata salaf  berasal dari bahasa Arab yang sepadan dengan kata taqaddam dan sabaqa[2] yang berarti madha (berlalu) dan inqadha (selesai). Kata salaf merupakan bentuk jama' (plural) dari kata salif, yang berarti orang-orang yang lebih utama atau berumur lebih tua dari kita. Kata salaf juga berarti orang yang mendahului atau hidup sebelum zaman kita[3]. Salafiy berarti suatu bentuk penisbatan terhadap as-Salaf.
Adapun makna terminologi as-Salaf adalah generasi yang dibatasi oleh penjelasan Rasulallah dalam haditsnya: Sebaik-baik manusia adalah yang hidup di zamanku, kemudian yang mengikuti mereka (tabi'in), kemudian yang mengikuti mereka (tabi'it tabi'in)[4]. Ada juga yang mendefenisikan salaf dengan sifat yang khusus dimutlakkan untuk para sahabat. Ketika yang disebutkan salaf maka yang dimaksud pertama kali adalah para sahabat. Adapun selain mereka itu ikut serta dalam makna salaf ini, yaitu orang-orang yang mengikuti mereka. Sebagian ulama kemudian menisbatkan kata ash-shalih pada kata as-salaf, sehingga menjadi as-salaf ash-shalih, untuk memberikan karakter pembeda dengan pendahulu kita yang lain yang datang sesudah generasi tiga kurun ini (yang kemudian dikenal dengan nama al-khalaf). Sehingga seorang salafi berarti seseorang yang mengaku mengikuti jalan para sahabat nabi, tabi'in, tabi' at-tabi'in dalam seluruh sisi ajaran dan pemahaman mereka.
Dari pendefensian ini, maka dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya orang yang disebut salaf, atau gerakan yang layak disebut sebagai salaf adalah orang atau gerakan yang dalam tindak tanduknya berdasarkan apa yang telah di ajarakan, telah diteladankan oleh Rasulullah saw, sahabat-sahabatnya hingga kegenerasi tabi'tabiin termasuk imam mazhab yang empat. Dengan kata lain, sebuah gerakan Islam, atau orang Islam yang mengaku mengikuti pada ajaran Nabi saw, sahabat, tabi'in. tabi'it tabi'in hingga pada imam yang empat layak disebut sebagai gerakan atau orang salaf, atau berpaham salaf atau salafi, juga gerakan yang bertujuan untuk memurnikan ajaran agar sesuai dengan ajaran Rasulullah dan tiga generasi setelahnya juga layak disebut salaf. Maka tidak salah jika beberapa organisasi Islam di Indonesia diklaim sebagai organisasi berfaham salaf, meski organisasi tersebut tidak pernah mengatakan bahwa mereka berfaham salaf, semisal Muhammadiyah dengan cirri gerakan tajdidnya, persis, al-irsyad bahkan NU sekalipun yang mengaku diri mereka adalah ahlu sunnah wa al-Jama'ah..
Namun, pada kenyataannya defenisi secara kebahasaan ini tidak sejalan dengan pemahaman tentang gerakan salaf yang sejatinya ada sekarang. Diberbagai buku yang kami baca, juga artikel-artikel mengenai pembahasan ini, maka semua keterangan itu akan memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud dengan salaf, atau salafi adalah gerakan yang didirikan oleh Muhammad bin Abdul Wahab yang bertujuan untuk mengembalikan pemahaman Islam kepada al-Qur'an dan sunnah Rasul, dimana bibit-bibit ajarannya telah muncul dari pembaharu awal Islam yaitu ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnu Qayyim al-Jauziyah, yang keduanya mengikuti mazhab imam Ahmad bin Hambal[5]. Adapun selain nama salaf terdapat banyak lagi penyebutan-penyebutan buat kaum salaf ini, diantaranya
·         Wahabi, diambil dari nama pendiri gerakan salaf yaitu Muhammad bin Abdul Wahab, namun istilah ini bukanlah istilah yang dipakai oleh pengikut-pengikut Muhammad bin Abdul Wahab, melainkan berasal dari muslim atau non muslim yang rata-rata membenci dakwah beliau, minimal mereka bersikap sinis, sehingga penggunaa'an istilah ini lebih sebagai upaya stigmatisasi atau pencitraan buruk terhadap dakwah Syaikh Muhammad. Namun dalam perjalanan waktu, istilah Wahabi menjadi popular, khususnya dimata kalangan non Wahabi. karena begitu populernya, sehingga para pendukung Syaikh Muhammad pun tidak segan-segan menggunakan istilah ini, dengan perkataan ana Wahabi atau nahnu Wahabi, bahkan didalam buku manhaj golongan selamat, Syaikh Muhammad Jamil Zainu terang-terangan membuat sya'ir-sya'ir yang isinya merasa bangga disebut Wahabi, dengan berteori bahwa istilah Wahabi itu dinisbatkan pada salah satu nama Allah swt al-Wahab (maha pemberi)[6], meski demikian masih ada pengikut dakwah Syaikh Muhammad tidak rela disebut dengan istilah Wahabai melihat dasar dari penama'an itu bertujuan untuk melecehkan mereka.
·         Muwahhidun: istilah ini dinisbatkan pada tujuan puncak dari dakwah salaf, yaitu tauhid, dengan kata lain, menumpas kesyirikan, praktek-praktek bid'ah dan hal-hal yang jauh dari ciri-ciri kaum salaf terdahulu
·         Ahlu-As-Sunnah: penamaan ini merupakan salah satu penamaan yang diberikan sendiri oleh pengikut Syaikh Muhammad, merujuk pada salah satu dasar dari ajaran mereka yaitu sunnah Rasul
·         Kaum hanabilah: hal ini di jadikan istilah kaum salaf dikarenakan dua tokoh rujukan mereka menganut mazhab imam Ahmad[7], meski hal ini kurang tepat karena salah satu sifat dari gerakan dakwah ini adalah membuka pintu ijtihad selebar-lebarnya selama tidak melewati batas-batas syari'at yang telah ditentukan oleh kaum salaf, sehingga berpegang pada satu mazhab bukanlah watak dari gerakan ini.[8]

Meski terdapat beberapa penyebutan dari gerakan salaf ini, namun semuanya merujuk atau menishbatkan pada gerakan dakwah yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab. Sehingga, dari jelasnya pendefinisian ini, maka gerakan salaf yang kami bahas disini adalah gerakan dakwah Muhammad bin Abdul Wahab beserta pengikut-pengikutnya, bukan gerakan-gerakan lain yang jika didasarkan secara kebahasaan juga bisa disebut sebagai gerakan salaf sebagaiman yang telah kami jelaskan sebelumnya.

SEJARAH SALAF
a.Kondisi jazirah arab pada masa pra Saudi
Secara umum, wilayah Saudi dibagi menjadi dua wilayah terbesar, yaitu Hijaz dan Najd. Hijaz meliputi kota Mekkah dan Madinah, yang terletak di pinggir laut Merah. Sedangkan sisanya di Najd yang merupakan wilayah padang pasir yang sangat luas, banyak dihuni oleh masyarakat badui.
Sejak era pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib, dua wilayah besar ini kurang mendapatkan perhatian Islam, hal ini di karenakan beberapa faktor, diantaranya dipindahkannya pusat kekuasaan Islam ke Kufah yang itu menjadikan Hijaz (madinah) bukan lagi pusat peradaban Islam, apalagi pada zaman Muawiyah bin Abi Sufyan ra yang mengalihkan pusat Islam lebih jauh lagi, yaitu di Damaskus, begitu pula bani Abbasiyah yang mengalihkannya ke Baghdad di wilayah Irak. Semakin kurangnya perhatian Islam pada wilayah-wilayah Saudi, menyebabkan Hijaz dan Najd menjadi daerah yang lemah dan kurang berkembang dalam hal peradaban, sebagai bukti, Hijaz, semenjak masa bani Abbasiyah selalu berada dibawah kontrol kaum-kaum tertentu. Tahun 946-961 M, Hijaz tunduk kepada Ukhraidaririyin yang berpaham Syi'ah. Pada tahun 961-969 M, tunduk pada kaum sesat Qaramtihah. Tahun 969-1070 M tunduk pada orang-orang fathimiyyah yang beraliran Syi'ah. Tahun 1070-1171, tunduk pada dinasti Saljuk. Tahun 1252-1517 M tunduk kepada dinasti Mamluk dan akhirnya tunduk kepada dinasti Turki Utsmani, sejak tahun 1517[9].

Pergantian kekuasaan yang mengontrol wilayah Hijaz, menyebabkan segala keadaan tidak menentu mulai dari kondisi masyarakat, politik dan peradaban, utamanya faham ajaran Islam yang tentunya dipengaruhi oleh faham yang dianut oleh penguasa, terlebih lagi wilayah Najd, yang memang selalu dikonotasikan sebagai daerah padang pasir tandus dan ganas; tempat kediaman kaum badui yang kurang peradaban, tentu keterbelakangannya lebih parah dibanding wilayah Hijaz. Hingga masuk abad ke 12 H, di Najd tidak di sangka-sangka muncul sosok Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab yang nantinya akan memulai perjuangan dakwahnya sebagai lanjutan persemaian pembaharuan yang telah ditanam bibitnya oleh Ibnu Taimiyah pada tahun 8 H, dakwah Muhammad bin Abdul Wahab nantinya tentu akan lebih menitik beratkan pada pembaharuan ajaran Islam, artinya memurnikan kembali ajaran Islam yang dipahami oleh para kaum salaf terdahulu, terbebas dari praktek-praktek syirik dan bid'ah, semua itu terinspirasi dari kondisi masyarakat Muslim Najd yang rusak secara akidah, syariat, dan akhlak. Gerakan ini dikemudian hari disebut dengan gerakan Salaf[10].
b. Muhammad bin Abdul Wahab
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dilahirkan pada tahun 1115 H (1701 M) di kampung Uyainah, lebih kurang 70 km arah barat laut kota Riyadh, ibu kota Arab Saudi sekarang. Ia tumbuh dan dibesarkan dalam kalangan keluarga terpelajar. Ayahnya adalah seorang tokoh agama dilingkungannya. Sedangkan kakaknya adalah seorang Qadhi (mufti besar), tempat dimana masyarakat Najd menanyakan segala sesuatu masalah yang bersangkutan dengan agama. Sebagaimana lazimnya keluarga Ulama, maka Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab sejak masih kanak-kanak telah dididik dengan pendidikan agama yang diajar sendiri oleh ayahnya Syaikh Abdul Wahab. Berkat bimbingan kedua orang tuanya ditambah dengan kecerdasan otak dan kerajinannya, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab berhasil menghacal 30 juz al-qur'an sebelum ia berusia 10 tahun. Setelah itu. Beliau diserahkan orang tuanya kepada para ulama setempat sebelum akhirnya mereka mengirimnya untuk belajar keluar daerah. Saudara sekandungnya, sulaiman bin Abdul Wahab, menceritakan betapa bangganya Syaikh Abdul Wahab, ayah mereka, terhadap kecerdasana beliau. Ia pernah berkata, "sungguh aku telah banyak mengambil manfaat dari ilmu pengetahuan anakku Muhammad, terutama dibidang Ilmu Fiqh".
Setelah mencapai usia dewasa, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab diajak oleh ayahnya untuk bersama-sama pergi ketanah suci Mekkah untuk menunaikan rukun Islam yang ke lima, mengerjakan haji di baitullah. Ketika selesai menunaikan Ibadah haji, ayahnya kembali ke Uyainah sementara Muhammad tetap tinggal di Mekah selama beberapa waktu dan menimba ilmu di sana. Setelah itu, ia pergi ke Madinah untuk berguru kepada ulama disana. Di Madinah, ia berguru pada dua orang ulama besar yaitu Syeikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif an-Najdi dan Syeikh Muhammad Hayah al-Sindi. di saat itulah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab tergerak hatinya untuk memperdalam aqidah yang murni, aqidah salafiyah, karena melihat beberapa penyimpangan praktek ibadah yang terjadi di Madinah sama halnya yang terjadi di wilayah Najd, utamanya Uyainah, tempat kelahirannya. Namun dia masih melanjutkan pencarian ilmunya hingga di Basrah, mendalami ilmu hadits dan musthalahnya, fiqih dan ushul fiqihnya, serta garamatikal bahasa (qawaidul lughoh), disini pula Beliau belajar berdakwah.
Pada tahun 1139H/1726M, ayahnya pindah ke Huraymilah, beliau juga ikut, di daerah itu, beliau juga masih terus melanjutkan dakwahnya, dan ternyata mendapat tantangan dari ayahnya hingga ayahnya meninggal dunia. Setelah itu, beliau makin bersemangat untuk melancarkan dakwahnya di kampungnya sendiri, mula-mula hal itu didukung oleh pemerintah setempat yaitu Utsman bin Muammar, namun karena banyaknya desakan masyarakat yang tidak menyukai cara dakwah beliau, dimana beliau mulai menghacurkan kuburan-kuburan yang dianggap terhormat oleh masyarakat, Amir, mulai gelisah dan menetapkan bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab harus keluar dari Uyainah.



c. Dir'iyah, puncak kesuksesan dakwah salaf.
Sebelum beliau sampai ke Dir'iyah, berkat dakwahnya yang terus berjalan, seorang istri ibnu Saud yang terkenal cerdas dan sholehah telah mengetahui lebih dahulu akan rencana kedatangan beliau. Untuk itu dia meminta kepada suaminya ibnu Saud agar menerima baik Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, karena dia merupakan karunia dari Allah swt atas warga Dir'iyah utamanya keluarga ibnu Saud yang menjadi penguasa. Begitulah mula awal sukses dakwah beliau, dukungan penguasa sangat membantu untuk melancarkan dakwah pemurnian tauhid, sehingga beliau mulai membuka madrasah-madrasah untuk mengajari masyarakat Dir'iyah yang ternyata sangat antusias terhadap dakwah beliau. Maka dakwah beliau tersebar dengan halaqoh-halaqoh keilmuan. orang-orang diluar Dir'iyah pun mulai berdatangan, lalu setelah belajar banyak dari beliau langsung, kemudian pulang ke daerah masing-masing untuk mendakwahkan ajaran Islam dengan semangat salaf. Hingga perpolitkan ibnu Saud berkembang dan mencapai puncak setelah runtuhnya Turki Ustmani, gerakan dakwah salaf pun juga mulai berkembang pesat dan memiliki kekuatan hukum untuk menegakkan syari'at, ulama mereka bertebaran dimana-mana. Beberapa dari ulama ini pada nantinya akan mempengaruhi pemikiran-pemikiran salaf di Indonesia hingga zaman sekarang diantaranya adalah Syaikh Muhammad Nashir al-Din al-Albany di Yordania (w. 2001), Syaikh Rabi al-Madkhaly di Madinah dan  Syaikh Muqbil al-Wadi’iy di Yaman (w. 2002).

PERIODESASI SALAF DI INDONESIA
Setelah menela'ah beberapa literatur tentang faham Wahabi dan berdiskusi dengan orang-orang yang sudah sering mengikuti halaqah salaf atau mengetahui beberapa benang merah cara masuk faham Wahabi di Indonesia[11], maka rangkaian masuknya faham Wahabi dapat kita spesifikasi menjadi tiga tingkat periode, diantaranya:
·         Mula-mula faham Wahabi dibawah masuk oleh beberapa ulama dari Sumatra yang pergi haji pada tahun 1803 M. ketika berkunjung ke Madinah, mereka tertarik sekali dengan gerakan Wahabiah. Sekembalinya dari tanah suci, mereka mulai mendakwahkan faham ini, lalu membentuk golongan tersendiri, yang meski tidak mengklaim diri mereka sebagai pengikut Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, tapi dasar dari gerakan mereka berdasar dari hal yang mereka pelajari ketika naik haji sehingga semangat mereka merupakan semangat salaf, yaitu pemurnian syar'at Islam. Gerakan ini mula-mulanya adalah sekelompok ulama yang tergabung dalam Harimau nan Salapan, lalu setelah mendapatkan banyak orang yang berjuang bersama,  akhirnya dikenal sebagai kaum paderi. salah satu tokohnya adalah Muhammad Sahab atau yang lebih dikenal dengan tuanku Imam bonjol[12]. Dengan tujuan mengembalikan praktek-praktek ibadah dan kemurnian akidah agar sesuai dengan tuntunan syari'at Islam, kaum paderi tentunya berhadapan dengan kaum yang masih sangat berpegang pada adat. langkah awal yang mereka tempuh ialah berunding dengan kaum adat yang dipimpin oleh Tuanku Lintau dan Yang Dipertuan Pagaruyung. Dalam perundingan itu, kaum paderi meminta agar kaum adat meninggalkan beberapa kebiasaan yang tidak sesuai dengan Islam (praktek bid'ah), tapi kesepakatan tidak tercapai diantara kedua belah pihak bahkan permasalahan ini tidak bisa lagi diselesaikan dengan perundingan. pada akhirnya Tuanku Pasamaran memimpin kaum paderi untuk menyerang Sultan Arifin Mungsyah pada tahun 1815 di dekat Batu Sangkar. Sultan terpaksa melarikan diri dari ibukota kerajaan Lubukjambi. Karena kekalahan yang dialami, kaum adat mengadakan kerja sama bersama belanda untuk menyerang balik kaum paderi. Terjadilah kesepakatan pada 21 februari 1821 dengan kompensasi kaum belanda dapat menguasai daerah perdalaman Minangkabau, Darek. Namun pada akhirnya kaum adat menyesali perbuatan mereka sendiri, karena ternyata hanya mendatangkan kesengsaraan bagi rakyat Minang, untuk itu, mereka melakukan kompromi dengan kaum paderi yang dikenal dengan kosensus adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah (adat bersendi agama, agama bersendi kitabullah)[13]. Setelah itu, perjuangan bagi kaum paderi belum selesai, karena mereka masih harus melawa belanda yang terus menambah pasukannya, utamanya bantuan dari Batavia, hingga pada tanggal 16 agustus 1837 benteng kaum paderi dapat dikuasai dan Tuanku Imam Bonjol diasingkan.
·         Periode kedua juga tidak terlepas dari peranan ulama-ulama yang dulunya adalah orang yang tergabung dalam kaum paderi, bahkan semangat perjuangan salaf atau dakwah Wahabi ditularkan pada anak cucu mereka. Pembaharuan ini muncul kembali lewat seorang ulama yang bernama Syaikh Ahmad khatib, seorang keturunan dari hakim paderi. Mulanya ia bersekolah rendah dan sekolah guru yang didirikan oleh belanda, kemudian pada tahun 1876 ia pergi ke Mekkah dimana puncaknya dia menjadi imam mazhab Syafi'I di Masjid al-Haram, sebagai imam tentunya ia tidak bisa meninggalkan Mekkah. Meski begitu ia tetap mempunyai hubungan dengan daerah asalnya melalui orang yang naik haji dan belajar padanya kemudian menjadi guru-guru agama di daerah masing-masing. Hubungan ini dipererat lagi dengan publikasi tulisan-tulisan beliau tentang pertikaian yang sering dikemukakan kepadanya oleh bekas-bekas murid-muridnya di Indonesia. Mengenai masalah-masalah di minagkabau Syaikh Ahmad khatib sangat menolak dua macam kebiasaan, yaitu thareqat Naqhsabandiyah yang sangat banyak diperaktekkan pada masa itu, juga menentang peraturan-peraturan adat tentang ahli waris. Ia juga tidak menyukai pembaharuan-pembaharuan yang dibawah oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho, tapi ia juga sangat meyakini fatwa imam Syafi'i yang mendesak siapapun untuk meningggalkan fatwa-fatwanya jika berlawanan dengan sunnah Nabi saw, oleh karenanya, murid-murid yang bersamanya tidak ia larang untuk membaca pemikiran-pemikiran pembaharu moderen tersebut dari majalah al-'urwat al wutsqa dan tafsir al-Manar, tapi dengan harapan para muridnya menolak[14]. Harapan beliau ternyata tidak terwujud bahkan sebaliknya dan murid-murid yang ternyata terpengaruh dengan pemikiran-pemikiran tersebutlah yang menorehkan nama mereka dalam pembaharuan Indonesia. yaitu Syaikh Muhammad Taher Jalaluddin, Syaikh Muhammad Djamil Djambek, Haji Abdul Karim Amrullah, haji Abdullah Ahmad dan Muhammad Darwis atau KH Ahmad Dahlan. Semua muridnya ini selain menyerukan pemurnian syariat agama Islam dengan menumpas segala kebiasaan-kebiasaan yang tidak sesuai dengan ajaran agama juga menyerukan berbagai macam propaganda perlunya umat Islam mencapai kemajuan dan mendorong serta mendesak mereka agar tidak ketinggalan di dalam berkompetisi  dengan dunia barat[15]. Hal ini pun dapat dilihat melalui ranah perjuangan mereka yang lebih banyak pada bidang pendidikan, dan lewat tulis menulis, tanpa juga pernah melupakan ranah politik. Penjelasan ini membuktikan bahwa, pada periode kedua, pembaharuan di Indonesia ternyata tidak terlepas dari semangat dakwah Wahabi yang masih diwariskan, tapi semangat dakwah salaf ini juga bercampur dengan pemikiran-pemikiran pembaharuan yang dibawah oleh Muhammaad Abduh dan Rasyid Ridha.[16]
·         Faham salaf pada periode terakhir (termasuk masa sekarang) berawal pada tahun 80an, seiring dengan maraknya gerakan kembali pada Islam di berbagai kampus tanah air, salafi modern ini ditandai dengan tokoh bernama Ja'far Umar Thalib dengan gerakan laskar jihadnya. Dalam salah satu tulisannya yang berjudul “Saya Merindukan Ukhuwah Imaniyah Islamiyah”, ia menceritakan kisahnya mengenal paham ini dengan mengatakan:
“Ketika saya belajar agama di Pakistan antara tahun 1986 s/d 1987, saya melihat betapa kaum muslimin di dunia ini tercerai berai dalam berbagai kelompok aliran pemahaman. Saya sedih dan sedih melihat kenyataan pahit ini. Ketika saya masuk ke medan jihad fi sabilillah di Afghanistan antara tahun tahun 1987 s/d 1989, saya melihat semangat perpecahan di kalangan kaum muslimin dengan mengunggulkan pimpinan masing-masing serta menjatuhkan tokoh-tokoh lain. Di tahun-tahun jihad fi sabilillah itu saya mulai berkenalan dengan para pemuda dari Yaman dan Surian yang kemudian mereka memperkenalkan kepada saya pemahaman Salafus Shalih Ahlus Sunnah wal Jamaah. Saya mulai kenal dari mereka seorang tokoh dakwah Salafiyah bernama Al-‘Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i. Kepiluan di Afghanistan saya dapati tanda-tandanya semakin menggejala di Indonesia. Saya kembali ke Indonesia pada akhir tahun 1989, dan pada januari 1990 saya mulai berdakwah. Perjuangan dakwah yang saya serukan adalah dakwah Salafiyah.”

Di samping Ja’far Thalib, terdapat beberapa tokoh lain yang dapat dikatakan sebagai penggerak awal Gerakan Salafi Modern di Indonesia, seperti: Yazid Abdul Qadir Jawwaz (Bogor), Abdul Hakim Abdat (Jakarta), Muhammad Umar As-Sewed (Solo), Ahmad Fais Asifuddin (Solo), dan Abu Nida’ (Yogyakarta). Nama-nama ini bahkan kemudian tergabung dalam dewan redaksi Majalah As-Sunnah –majalah Gerakan Salafi Modern pertama di Indonesia-, sebelum kemudian mereka berpecah beberapa tahun kemudian.
Perbedaan pandangan antara pelaku gerakan Salafi modern setidaknya mulai mengerucut sejak terjadinya Perang Teluk yang melibatkan Amerika dan Irak yang dianggap telah melakukan invasi ke Kuwait. Secara khusus lagi ketika Saudi Arabia mengundang pasukan Amerika Serikat untuk membuka pangkalan militernya di sana. Saat itu, para ulama Saudi –secara umum- kemudian berbeda pandangan: antara yang pro dengan kebijakan itu dan yang kontra Sampai sejauh ini sebenarnya tidak ada masalah, karena mereka umumnya masih menganggap itu sebagai masalah ijtihadiyah yang memungkinkan terjadinya perbedaan tersebut. Namun berdasarkan informasi yang penulis dapatkan nampaknya ada pihak yang ingin mengail di air keruh dengan “membesar-besarkan” masalah ini. Secara khusus, beberapa sumber menyebutkan bahwa pihak Menteri Dalam Negeri Saudi Arabia saat itu–yang selama ini dikenal sebagai pejabat yang tidak terlalu suka dengan gerakan dakwah yang ada- mempunyai andil dalam hal ini. Upaya inti yang dilakukan kemudian adalah mendiskreditkan mereka yang kontra sebagai khawarij, quthbiy (penganut paham Sayyid Quthb), sururi (penganut paham Muhammad Surur ibn Zain al-‘Abidin), dan yang semacamnya.
Momentum inilah yang kemudian mempertegas keberadaan dua pemahaman dalam gerakan Salafi modern –yang untuk mempermudah pembahasan oleh Abu ‘Abdirrahman al-Thalibi disebut sebagai-: Salafi Yamani dan Salafi Haraki[17]. Dan sebagaimana fenomena gerakan lainnya, kedua pemahaman inipun terimpor masuk ke Indonesia dan memiliki pendukung.
Selanjutnya, perberdaan antara kedua kubu salafi ini lebih diperjelas pada beberapa masalah diantaranya:

1.      Hajr Mubtadi’ (Pengisoliran terhadap pelaku bid’ah)
Sebagai sebuah gerakan purifikasi Islam, isu bid’ah tentu menjadi hal yang mendapatkan perhatian gerakan ini secara khusus. Upaya-upaya yang mereka kerahkan salah satunya terpusat pada usaha keras untuk mengkritisi dan membersihkan ragam bid’ah yang selama ini diyakini dan diamalkan oleh berbagai lapisan masyarakat Islam. Dan sebagai sebuah upaya meminimalisir kebid’ahan, para ulama Ahl al-Sunnah menyepakati sebuah mekanisme yang dikenal dengan hajr al-mubtadi’ atau pengisoliran terhadap mubtadi’. Dan tentu saja, semua gerakan salafi sepakat akan hal ini. Akan tetapi, pada prakteknya di Indonesia, masing-masing faksi –salafi Yamani dan haraki- sangat berbeda. Dalam hal ini, salafi Yamani terkesan membabi buta dalam menerapkan mekanisme ini. Fenomena yang nyata akan hal ini mereka terapkan dengan cara melemparkan tahdzir (warning) terhadap person yang bahkan mengaku mendakwahkan gerakan salafi. Puncaknya adalah ketika mereka menerbitkan “daftar nama-nama ustadz yang direkomendasikan” dalam situs mereka www.salafy.or.id Dalam daftar ini dicantumkan 86 nama ustadz dari Aceh sampai Papua yang mereka anggap dapat dipercaya untuk dijadikan rujukan, dan uniknya nama-nama itu didominasi oleh murid-murid Syaikh Muqbil al-Wadi’i di Yaman. Sementara Salafi Haraki cenderung melihat mekanisme hajr al-mubtadi’ ini sebagai sesuatu yang tidak mutlak dilakukan, sebab semuanya tergantung pada maslahat dan mafsadatnya. Menurut mereka, hajr al-mubtadi’ dilakukan tidak lebih untuk memberikan efek jera kepada sang pelaku bid’ah. Namun jika itu tidak bermanfaat, maka boleh jadi metode ta’lif al-qulub-lah yang berguna.

 2.      Sikap terhadap politik (parlemen dan pemilu).
Hal lain yang menjadi ide utama gerakan ini adalah bahwa gerakan Salafi bukanlah gerakan politik dalam arti yang bersifat praktis. Bahkan mereka memandang keterlibatan dalam semua proses politik praktis seperti pemilihan umum sebagai sebuah bid’ah dan penyimpangan. Ide ini terutama dipegangi dan disebarkan dengan gencar oleh pendukung Salafi Yamani. Muhammad As-Sewed misalnya mengulas kerusakan-kerusakan pemilu sebagai berikut:
a.       Pemilu adalah sebuah upaya menyekutukan Allah (syirik) karena menetapkan aturan berdasarkan suara terbanyak (rakyat), padahal yang berhak untuk itu hanya Allah.
b.      Apa yang disepakati suara terbanyak itulah yang dianggap sah, meskipun bertentangan dengan agama atau aturan Allah dan Rasul-Nya.
c.       Pemilu adalah tuduhan tidak langsung kepada Islam bahwa ia tidak mampu menciptakan masyarakat yang adil sehingga membutuhkan sistem lain.
d.      Partai-partai Islam tidak punya pilihan selain mengikuti aturan yang ada, meskipun aturan itu bertentangan dengan Islam.
e.       Dalam pemilu terdapat prinsip jahannamiyah, yaitu menghalalkan segala cara demi tercapainya tujuan-tujuan politis, dan sangat sedikit yang selamat dari itu.
f.        Pemilu berpotensi besar menanamkan fanatisme jahiliah terhadap partai-partai yang ada.
Berbeda dengan Salafi Haraki yang cenderung menganggap masalah ini sebagai  persoalan ijtihadiyah belaka. Dalam sebuah tulisan bertajuk al-Musyarakah fi al-Intikhabat al-Barlamaniyah yang dimuat oleh situs Islamtoday.com (salah satu situs yang dianggap sering menjadi rujukan mereka dikelola oleh DR. Salman ibn Fahd al-‘Audah) misalnya, dipaparkan bahwa sistem peralihan dan penyematan kekuasaan dalam Islam tidak memiliki sistem yang baku. Karena itu, tidak menutup mungkin untuk mengadopsi sistem pemilu yang ada di Barat setelah ‘memodifikasi’nya agar sesuai dengan prinsip-prinsip politik Islam. Alasan utamanya adalah karena hal itu tidak lebih dari sebuah bagian adminstratif belaka yang memungkinkan kita untuk mengadopsinya dari manapun selama mendatangkan mashlahat. Maka tidak mengherankan jika salah satu ormas yang dianggap sebagai salah satu representasi faksi ini, Wahdah Islamiyah, mengeluarkan keputusan yang menginstruksikan anggotanya untuk ikut serta dalam menggunakan hak pilihnya dalam pemilu-pemilu yang lalu.

3.      Sikap terhadap gerakan Islam yang lain.
Pandangan pendukung gerakan Salafi modern di Indonesia terhadap berbagai gerakan lain yang ada sepenuhnya merupakan imbas aksiomatis dari penerapan prinsip hajr al-mubtadi’ yang telah dijelaskan terdahulu. Baik Salafi Yamani maupun Haraki, sikap keduanya terhadap gerakan Islam lain sangat dipengaruhi oleh pandangan mereka dalam penerapan hajr al-mubtadi’. Sehingga tidak mengherankan dalam poin inipun mereka berbeda pandangan.
Jika Salafi Haraki cenderung ‘moderat’ dalam menyikapi gerakan lain, maka Salafi Yamani dikenal sangat ekstrim bahkan seringkali tanpa kompromi sama sekali. Fenomena sikap keras Salafi Yamani terhadap gerakan Islam lainnya dapat dilihat dalam beberapa contoh berikut:
b.      Sikap terhadap Sururiyah
Secara umum, Sururi atau Sururiyah adalah label yang disematkan kalangan Salafi Yamani terhadap Salafi Haraki yang dianggap ‘mencampur-adukkan’ berbagai manhaj gerakan Islam dengan manhaj salaf. Kata Sururiyah sendiri adalah penisbatan kepada Muhammad Surur bin Zainal Abidin. Tokoh ini dianggap sebagai pelopor paham yang mengadopsi dan menggabungkan ajaran Salafi dengan Ikhwanul Muslimin. Disamping Muhammad Surur, nama-nama lain yang sering dimasukkan dalam kelompok ini adalah DR. Safar ibn ‘Abdirrahman al-Hawali, DR. Salman ibn Fahd Al-‘Audah –keduanya di Saudi- dan Abdurrahman Abdul Khaliq dari Jam’iyyah Ihya’ al-Turats di Kuwait
Dalam sebuah tulisan berjudul Membongkar Pikiran Hasan Al-Banna-Sururiyah (III) diuraikan secara rinci pengertian Sururiyah itu:
“Ada sekelompok orang yang mengikuti kaidah salaf dalam perkara Asma dan Sifat Allah, iman dan taqdir. Tapi, ada salah satu prinsip mereka yang sangat fatal yaitu mengkafirkan kaum muslimin. Mereka terpengaruh oleh prinsip Ikhwanul Muslimin. Pelopor aliran ini bernama Muhammad bin Surur. Muhammad bin Surur yang lahir di Suriah dahulunya adalah Ikhwanul Muslimin. Kemudian ia menyempal dari jamaah sesat ini dan membangun gerakannya sendiri berdasarkan pemikiran-pemikiran Sayyid Quthub (misalnya masalah demonstrasi, kudeta dan yang sejenisnya)"
 Tulisan yang sama juga menyimpulkan beberapa sisi persamaan antara Sururiyah dengan Ikhwanul Muslimin, yaitu:
-         Keduanya sama-sama mengkafirkan golongan lain dan pemerintah muslim.
-         Keduanya satu ide dalam masalah demonstrasi, mobilisasi dan selebaran-selebaran.
-         Keduanya sama dalam masalah pembinaan revolusi dalam rangka kudeta.
-         Keduanya sama dalam hal tanzhim dan sistem kepemimpinan yang mengerucut (piramida).
-         Keduanya sama-sama tenggelam dalam politik.[33]
Hanya saja banyak ‘tuduhan’ sebenarnya terlalu tergesa-gesa untuk tidak mengatakan membabi buta. Ada yang tidak mempunyai bukti akurat, atau termasuk persoalan yang sebenarnya termasuk kategori ijtihad dan tidak bisa disebut sebagai kesesatan (baca: bid’ah).

4.      Sikap terhadap pemerintah
Secara umum, sebagaimana pemerintah yang umum diyakini Ahl al-Sunnah –yaitu ketidakbolehan khuruj atau melakukan gerakan separatisme dalam sebuah pemerintahan Islam yang sah-, Gerakan Salafi juga meyakini hal ini. Itulah sebabnya, setiap tindakan atau upaya yang dianggap ingin menggoyang pemerintahan yang sah dengan mudah diberi cap Khawarij, bughat atau yang semacamnya.
Dalam tulisannya yang bertajuk “Membongkar Pemikiran Sang Begawan Teroris (I), Abu Hamzah Yusuf misalnya menulis:
“Tokoh-tokoh yang disebutkan Imam Samudra di atas (maksudnya: Salman al-Audah, Safar al-Hawali dan lain-lain –pen) tidaklah berjalan di atas manhaj Salaf. Bahkan perjalanan hidup mereka dipenuhi catatan hitam yang menunjukkan mereka jauh dari manhaj Salaf...Tak ada hubungan antara tokoh-tokoh itu dengan para ulama Ahlus Sunnah. Bahkan semua orang tahu bahwa antara mereka berbeda dalam hal manhaj (metodologi). Tokoh-tokoh itu berideologikan Quthbiyyah, Sururiyah, dan Kharijiyah”
Dalam “Mereka Adalah Teroris” juga misalnya disebutkan:
“...Kemudian dilanjutkan tongkat estafet ini oleh para ruwaibidhah (sebutan lain untuk Khawarij -pen) masa kini semacam Dr. Safar Al-Hawali, Salman Al-Audah dan sang jagoan konyol Usamah bin Laden. Sementara Imam Samudra hanyalah salah satu bagian kecil saja dari sindikat terorisme yang ada di Indonesia. Kami katakan ini karena di atas Imam Samudra masih ada tokoh-tokoh khawarij Indonesia yang lebih senior seperti: Abdullah Sungkar alias Ustadz Abdul Halim, Abu Bakar Ba’asyir alias Ustadz Abdush Shamad.”
          Pernyataan ini disebabkan karena tokoh-tokoh yang dimaksud dikenal sebagai orang-orang yang gigih melontarkan kritik ‘pedas’ terhadap pemerintah Kerajaan Saudi Arabia terutama dalam kasus penempatan pangkalan militer AS di sana. Sementara dua nama terakhir dikenal sebagai orang-orang yang gigih memformalisasikan syariat Islam di Indonesia. Sebagai konsekwensi dari prinsip ini, maka muncul kesan bahwa kaum Salafi cenderung ‘enggan’ melontarkan kritik terhadap pemerintah. Meskipun sesungguhnya manhaj al-Salaf sendiri memberikan peluang untuk itu meskipun dibatasi secara “empat mata” dengan sang penguasa. Namun pada prakteknya kemudian, ternyata prinsip inipun sedikit banyak telah dilanggar oleh mereka sendiri. Abu ‘Abdirrahman al-Thalibi misalnya menyebutkan salah satu penyimpangan Salafi Yamani: “Sikap Melawan Pemerintah”. Ia menulis:
“Dalam beberapa kasus, jelas-jelas Salafy Yamani telah melawan pemerintah yang diakui secara konsensus oleh Ummat Islam Indonesia, khususnya melalui tindakan-tindakan Laskar Jihad di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid.
Tanggal 6 April 2000, mereka mengadakan tabligh akbar di Senayan, tak lama kemudian mereka berdemo di sekitar Istana Negara dimana Abdurrahman Wahid sedang berada di dalamnya. Kenyataan yang sangat mengherankan, mereka bergerak secara massal dengan membawa senjata-senjata tajam. Belum pernah Istana Negara RI didemo oleh orang-orang bersenjata, kecuali dalam peristiwa di atas. Masih bisa dimaklumi, meskipun melanggar hukum, jika yang melakukannya adalah anggota partai komunis yang dikenal menghalalkan kekerasan, tetapi perbuatan itu justru dilakukan oleh para pemuda yang mewarisi manhaj Salafus Shalih. Masya Allah, Salafus Shalih mana yang mereka maksudkan?”[18] 

DAKWAH DAN AJARAN WAHABI
1.      Al-Ilmu (Menghidupkan Ilmu-ilmu KeIslaman)
Syaikh Muhammad Rahimahullah menempuh metode yang dicontohkan oleh Rasululloh saw dan para ulama, ketika beliau meletakkan asas ilmu sebagai fondasi dakwahnya. Di awal kitabnya yang terkenal, Al Ushulul Tsalatsah, beliau berkata: “I’lam rahimakallah, annahu yajibu ‘alaina ta’allum arba’i masa’ila, al ula al ‘lmu wa; wa huwa ma’rifatukkah wa ma’rifatu nabiyyihi, wa ma’rifatu dinil Islam bil adil-lah” (Ketahuilah wahai pembaca rahimahullah, bahwa Dia mewajibkan kita mempelajari empat masalah; yang pertama adalah ilmu, yaitu ilmu untuk mengenal Allah, mengenal Nabi-Nya, dan mengenal Islam dengan dalil-dalilnya). [Hasyiyah Tsalatsatul Ushul, karya Syaikh Abdurrahman bin Muhammad Al Hanbali An Najdi, hal. 9-11. Berupa matan, dicetak tahun 1987 M].
Ini adalah bukti kongkrit bahwa ajaran dakwah Syaikh Muhammad diasaskan di atas ilmu. Beliau menyebut ilmu sebagai urusan pertama yang diwajibkan oleh Allah Ta’ala kepada setiap Muslim. Dalam hal ini beliau berdalil dengan Surat Muhammad ayat 19, yang artinya: “Ketahuilah, tidak ada ilah yang berhak disembah selain Allah, dan mohonlah ampun atas dosamu”. Kemudian beliau menyebut sebuah prinsip yang diambil dari nama judul bab dalam kitab Shahih Bukhari, Al-‘ilmu qabla qauli wal ‘amal (Ilmu sebelum perkataan dan perbuatan).
Secara aplikasi, prinsip ini diwujudkan dengan menyelenggarakan halaqah-halaqah ilmu, majelis-majelis taklim, daurah-daurah, menulis risalah-risalah ilmiah, menyusun bayan dan bantahan, mencetak buku-buku dan menyebarkannya, menyelenggarakan madrasah-madrasah diniyah, mendirikan lembaga riset ilmiah, dakwah, dan fatwa; mendirikan universitas-universitas Islam prestisius di dunia, dll. Hal demikian sudah ditempuh sejak masa dulu sampai hari ini. Bisa dikatakan, gerakan dakwah Syaikh Muhammad sangat produktif dalam mencetak kader-kader dai dan ulama yang mumpuni secara keilmuwan.
2.      At-Tauhid (Memurnikan Tauhid dan Memberantas Kemusyrikan)
Prinsip selanjutnya ialah memurnikan tauhid umat dan memberantas kemusyrikan. Hal ini tidak diragukan lagi. Syaikh Muhammad telah menyusun kitab yang monumental dibidang ini, yaitu Kitab At Tauhid dan Asy-Syubhat. Kitab ini disyukuri oleh banyak manusia, namun juga dicaci maki oleh orang-orang yang anti dakwah beliau. Kalau mau jujur, dakwah Syaikh Muhammad yang sangat masyhur di mata para pendukung dan penentangnya, bahkan di mata kaum kufar, ialah di bidang tauhid ini.
Sebagaimana Rosulullah saw memulai dakwahnya dengan dasar keprihatinan melihat kerusakan moral, kehancuran akhlak, dan kehidupan yang melanda masyarakat Kota Makkah; maka Syaikh Muhammad juga demikian. Tajdid dakwah beliau dimulai dari keprihatinan mendalam melihat kondisi kaum Muslimin di Najd yang sudah rusak parah secara akidah, ibadah, dan akhlak. Di masa itu, manusia biasa mengibadahi kuburan, meminta pertolongan para ahli kubur, memakai jimat dan mantra-mantra, mendatangi dukun dan tukang sihir, tenggelam dalam khurofat dan takhayul, bahkan meminta pertolongan benda mati dan pepohonan. Semua ini bila dibiarkan jelas akan mengembalikan umat kepada kemusyrikan seperti awal zaman kaum musyrikin Makkah dahului.
Semua kemusyrikan itu tidak akan selesai hanya dengan ceramah, khutbah, atau nasehat. Maka Syaikh Muhammad menempuh jihad fi sabilillah dalam rangka memberantas kemusyrikan ini. Jihad bukan hanya dibutuhkan untuk menghadapi kaum kufar, tetapi juga bisa digunakan untuk menghadapi kaum sesat dari kalangan umat Islam sendiri. Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. memerangi kaum murtadin yang menolak zakat dan para pengikut Nabi palsu. Khalifah Ali bin Abi Tholib r.a. memerangi kaum Khawarij di Nahrawan dan Ahlul Bughat di masa kepemimpinan beliau. Shalahuddin Al-Ayyubi membersihkan anasir Syiah dari barisan pasukannya; pembersihan kaum Qaramithah yang menguasai Makkah, dan lain-lain contoh.
Jihad Syaikh Muhammad ini mengundang celaan, permusuhan, dan kebencian luar biasa dari musuh-musuhnya. Tetapi hasil dari semua itu nyata, yaitu pulihnya peradaban Tauhid dan bersihnya wilayah kerajaan Saudi dari praktik kemusyrikan. Demi mengembalikan mausia kepada fitrah semula, yaitu penghambaan murni kepada Allah dengan meninggalkan segala bentuk kemusyrikan; berapapun harganya harus ditunaikan.
3.      As-Sunnah (Menghidupkan Sunnah dan Memberantas Bid’ah)
Prinsip selanjutnya, setelah tauhid, ialah menghidupkan sunnah dan sekaligus memberantas lawannya (yaitu bid’ah). Imam Nawawi rahimahullah dalam kitabnya yang masyhur, Riyadhus Shalihin, menulis bab tersendiri tentang pentingnya Sunnah dan bahaya perbuatan bid’ah.[19] Di sana beliau menulis bab: Fil Amri bil Muhafazhah ‘ala As Sunnah wa Adabiha (Kewajiban Menjaga Sunnah dan Adba-adabnya). Tidak jauh dari bab ini, ada bab tentang: Fii An Nahyi ‘anil Bida’ wa Muhda-tsatil umur(Larangan Perbuatan Bid’ah dan Perkara-perkara yang Diada-adakan).[20]
Di antara hadits masyhur yang sering dibawakan dalam perkara ini, ialah sabda Roshulullah saw, “Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada contohnya dari kami-maksudnya, Roshulullah dan Sahabat-maka amalan itu tertolak.” [HR. Muslim, dari Ummul Mukmin, Aisyah binti Abi Bakar r.a. Hadits ini disebutkan juga dalam kitab Arbain An Nawawiyah, hadits ke-5].
Komitmen Syaikh Muhammad dan murid-muridnya kepada As-Sunnah tidak diragukan lagi. Perbuatan-perbuatan bid’ah termasuk bagian dari amal-amal yang beliau berantas dengan dakwahnya. Di antara bid’ah itu ada yang bisa membawa pelakunya kepada kekufuran, seperti mengibadahi kuburan, berdoa kepada ahli kubur, meminta pertolongan (istighatsah) kepada arwah orang shalih, jin, dan Malikat, menyandarkan nasib dan peruntungan kepada ramalan dukun-dukun dan tukang sihir, dan lain-lain.
Pengamalan sunnah ini ditetapkan dengan keyakinan di hati, amal perbuatan, serta penampilan lahir. Memakai gamis putih, memakai penutup kepala, mengangkat delana di atas mata kaki, memanjakangkan janggut, bersiwak, dan lain-lain termasuk bagian dari amalan sunnah itu. Meskipun hal tersebut sering ditanggapi secara sinis oleh pihak-pihak tertentu.[21]
4.      At-Tasfiyah (Pemurnian Khazanah Islam Ilmu-ilmu KeIslaman)
Tasfiyah yang dimaksud di sini ialah membersihkan khazanah kitab-kitab keIslaman dari pengaruh hadits-hadits palsu dan munkar, hadits lemah, kisah Israiliyyat, ajaran-ajaran khurafat, filsafat-filsafat yunani dan materialisme, dan lain-lain. Betapa banyak kaum Muslimin tenggelam dalam amal-amal yang diklaim sebagai amal saleh, amal mulia, amal jariyah; padahal semua itu besar kemungkinan ditolak di sisi Allah karena tidak didasari dalil yang shahih. Maka upaya tasfiyah pada dasarnya ditujukan untuk menyelamatkan amal-amal umat tersebut.
Di kancah dakwah Islam kontemporer, Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahulloh terkenal dengan slogan dakwahnya, “At-Tasfiyah wa At-Tarbiyyah”. Meskipun Syaikh Muhammad tidak menyebutkan prinsip tasfiyah (pemurnian khazanah ilmiah) ini secara verbal, tetapi beliau dan murid-muridnya secara kongkrit mengamalkan hal itu. Dalam kitab-kitab yang ditulisnya, Syaikh Muhammad tidak pernah merujuk pendapat tokoh-tokoh aliran sesat, ulama Syiah, para filsuf, ilmuwan barat, ilmuwan non Muslim, dan lain-lain. Bahkan untuk kitab sekelas Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali rahimahulloh, beliau tidak merujuknya, karena di dalamnya kerap ditemukan penggunaan hadits-hadits lemah atau palsu.
Ada sebagian peneliti yang menyebut bahwa dalam kitab-kitab Syaikh Muhammad juga ditemukan penggunaan hadits-hadits lemah. Tetapi jumlahnya sedikit dan tidak ada hadits-hadits palsu didalamnya. Secara umum, Syaikh Muhammad lebih memilih dalil-dalil yang kuat, untuk menghindari aneka intepretasi dan perdebatan. Pilihan beliau untuk merujuk pendapat-pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, dan imam-imam hadits rahimahumulloh semakin menjelaskan spirit tasfiyah itu.
5.      Ad-Dakwah (Menyebarkan Ajaran Islam yang Lurus)
Tentu saja Syaikh Muhammad membina dakwah, menyerukan dakwah, serta memperkuat pengaruh dakwah. Sejarah perjuangan beliau di bidang ini sangat panjang, sehingga dirinya dianggap sebagai seorang “Muassis Dakwah” (peletak fondasi dakwah). Syaikh Abdul Aziz bin Bazz sendiri menyebut beliau sebagai “Al-Imamud Dakwah” (imamnya dakwah tauhid dan Sunnah). Ustadz Muhammad Asad mengatakan, “sesungguhnya, semua gerakan kebangunan kembali Islam modern-gerakan Ahli Hadits di India, gerakan Sanusi di Afrika Utara, karya Jamaluddin Al-Afghani, dan pergerakan Muhammad Abduh di Mesir- adalah merupakan jejak selanjutnya dari dorongan kejiwaan yang dilaksanakan pada abad ke-18 oleh Muhammad bi Abdul Wahab.” (jalan ke Mekkah, hal. 195).
Dalam kitabnya, Ushulus tsala-tsah, Syaikh Muhammad mengatakan, “bahwa Allah mewajibkan empat perkara, yaitu: ilmu, beramal dengan ilmu, mendakwahkan ilmu, dan bersabar di atas jalan itu.” (Hasyiyah Tsala-tsatul Ushul, karya Syaikh Abdurrahman Al-Hanbali An-Najd, hal. 11-13). Dalam hal ini Syaikh Muhammad berdalil dengan Surat Al-‘Ashr yang didalamnya setiap Muslim diperhatikan beriman, beramal saleh, saling nasehat-menasehati dalam kebenaran dan kesabaran.
Gerakan dakwah Syaikh Muhammad tidak berbeda dengan gerakan-gerakan dakwah Islam pada umumnya. Bahkan gerakan beliau lebih tua usianya dari gerakan-gerakan dakwah kontemporer yang muncul di negeri-negeri Muslim.
6.      Amar Makruf Nahi Munkar (Menganjurkan Kebaikan dan Mencegah Kemunkaran)
Syaikh Muhammad dan para pendukungnya secara aktif menyampaikan dakwah dan nasehat. Termasuk ke keluarga beliau sendiri. Selain itu mereka melaksanakan nahyul munkar bil yad (mencegah kemunkaran dengan tangan/kekuatan), seperti menghentikan praktik kemusyrikan, membongkar kuburan-kuburan yang diibadahi manusia, membersihkan kampung-kampung kaum Muslimin di wilayah Najd dari ritual-ritual serta symbol-simbol kemunkaran.
Di zaman modern, di wilayah Kerajaan Saudi dibentuk Badan Hisbah yang secara khusus mengampu urusan amar makruf nahi munkar. Bila ada perkara-perkara yang menyimpang dari syariat Islam, para petugas dalam bidang ini akan bertindak mengatasi hal itu. Salah satu bentuknya adalah keberadaan asykar yang berjaga di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Mereka konsisten menasehati umat dan mencegah mereka berbuat kemungkaran.
7.      Tath-Biqus Syariah (Menegakkan Hukum Allah dalam Pemerintahan dan Masyarakat)
Hal ini merupakan kenyataan yang jelas. Kerajaan Saudi, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, bisa dikatakan sebagai Negara yang paling aktif melaksanakan syariat Islam, di era dewasa ini. Negara-negara lain yang juga berusaha melaksanakan syariat Islam, seperti Sudan, Negara Bagian Kelantan Malaysia, Kuwait, Yaman, Qatar, juga Provinsi Aceh Darussalam Indonesia. Tetapi pengalaman di Negara-negara itu tidak segencar di Saudi.
Strategi aliansi yang dilaksanakan Syaikh Muhammad dengan keluarga Ibnu Saud pada tahun 1157 H (1744 M) membawa dua keuntungan besar: pertama, aliansi itu berhasil melindungi, mendukung, dan menguatkan dakwah Syaikh Muhammad. kedua, aliansi itu berhasil mendesak Raja Muhammad bin Saud, perintis Kerajaan Saudi, untuk melaksanakan syariat Islam dalam pemerintahannya. Komitmen itu terus dijaga sampai saat ini.
Pada tahun 1970-an, Raja Faishal bin Abdul Aziz Al-Saud, mempunyai ide untuk membangun kembali Khilafah Islamiyyah, dengan Kerajaan Saudi sebagai porosnya; untuk menggantikan posisi Khilafah Utsmani di Turki. Namun sayang, sebelum rencana itu berhasil ditunaikan, Raja Faishal rahimahulloh sudah awafat terbunuh.[22]
8.      Al-Ijtihad (Membuka Pintu-pintu Ijtihad untuk Menjawab Masalah-masalah Komtemporer Umat)
Syaikh Muhammad dan para pengikutnya tidak merasa tabu dengan ijtihad. Mereka membuka pintu-pintu ijtihad seluas mungkin, selama tidak berbenturan dengan kaidah syariat Islam. Bukti sederhananya ialah modernisasi kehidupan bangsa Saudi dengan masuknya sarana-sarana teknologi. Kalau kita melihat pembangunan Masjid Nabawi, Masjidil Haram, dan Masjid-masjid besar lainnya di Saudi, di sana padat dengan aplikasi teknologi.
Lajnah Daimah lil Buhuts Ilmiyah wal Ifta’ (Dewan Fatwa Saudi) sampai saat ini aktif menyampaikan fatwa-fatwa yang didalamnya sarat bermuatan unsur-unsur ijtihad. Mereka memberi penjelasan seputar perkara-perkara kontemporer seperti isu social, budaya, kaum wanita, media massa, dunia buku, kesehatan, seksualitas, komunikasi, transfortasi, diplomasi, konspirasi, isu terorisme, dan lain-lain. Ijtihad itu terus dibuka untuk melayani kepentingan kaum Muslimin, dan menunaikan amanah ilmu.
9.      Jihad Fi Sabilillah (Membela Agama Allah dan Negeri-negeri Muslim dengan Kekuatan Senjata)
Disamping prinsip-prinsip di atas, maka Syaikh Muhammad melengkapi dakwahnya dengan jihad fi sabilillah. Jihad ini dalam perjuangan beliau terbagi dalam tiga fase. Pertama, jihad yang ditunjukan untuk memenangkan dakwah, dan memadamkan api kemusyrikan dan kesesatan. Kedua, Jihad untuk melindungi wilayah dakwah beliau (Kerajaan Saudi) dari segala tantangan dan hambatan. Termasuk di dalamnya, menghadapi makar “Khalifah Al-Ikhwan” di bawah pimpinan Faishal Ad-Dawisy, yang disuplai berpeti-peti uang riyal bergambar Maria Theresia oleh Inggris, untuk melemahkan posisi Kerajaan Saudi yang baru berdiri.[23] Ketiga, Jihad untuk menolong negeri-negeri Muslim lainnya yang diinvasi orang kufar.
Contoh jihad ketiga ialah dukungan politik Arab Saudi bagi kemerdekaan negara-negara Muslim dari tangan penjajah, termasuk kemerdekaan Indonesia dari Jepang dan Belanda. Arab Saudi termasuk Negara yang mula-mula mengakui kemerdekaan Indonesia, selain Mesir. Saudi menolong bangsa Palestina berperang menghadapi Israel. Raja Faishal menjadi korban konspirasi, akibat dukungan beliau bagi perjuangan bangsa palestina.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah di masa hidupnya pernah mengecam keras Presiden Mesir, Jamal Abdul Maser, karena  menghukum mati tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin. Begitu pula, beliau menyerukan umat untuk menolong Ikhwanul Muslimin di Syiria menghadapi keganasan Hafez Asad. Syaikh Bin Baz menyetujui proposal yang disampaikan Dr. Abdullah Azzam rahimahullah, agar beliau menetapkan hukum fardhu ‘ain berjihad membela kaum Muslimin di Afghanistan dalam menghadapi kufar Uni Soviet. Dengan fatwa itu, pemuda-pemuda Arab berduyun-duyun datang ke Afghanistan, termasuk juga pemuda-pemuda dari Indonesia, sampai Uni Soviet angkat kaki pada akhir tahun 1980-an.[24]
Sangat banyak jejak-jejak jihad fi sabilillah dari pengikut Syaikh Muhammad di era kontemporer. Safar jihad mereka sudah menjangkau wilayah Bosnia, Chechnya, Dagestan, Afghanistan, Irak, dan lainnya. Justru yang tidak tampak ialah jejak jihad kaum Sufi, Syiah, SEPILIS, dan kelompok yang mengaku Islam lainnya, di negeri-negeri Muslim. Kaum-kaum yang terakhir ini seringkali menyerang dakwah Wahabi dengan tuduhan-tuduhan berbisa. Tetapi mereka tidak bisa membuktikan bahwa dirinya lebih perwira dari kaum Wahabi dalam menghadapi pasukan kufar di berbagai medan pertempuran; atau menghadapi Zionis Yahudi di Israel.[25]
10.  At-Tazkiyah (Mensucikan Jiwa)
Sebagai penyempurna dari semua prinsip ini adalah At-Tazkiyah, yaitu mensucikan jiwa dari segala hal yang mengotori. Bidang tazkiyatun nufus biasanya dibahas oleh ulama-ulama Sufi atau ahli suluk. Tetapi seluruh Muslim membutuhkan hal itu, sebab ia sudah melekat bersama tabiat ajaran Islam itu sendiri. “Sungguh Alloh telah memberi karunia kepada orang-orang beriman ketika Dia mengutus di tengah mereka seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri; (agar Rasul itu) membacakan atas mereka ayat-ayat-Nya, mensucikan jiwa mereka, mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikamah. Dan pada mulanya mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.(Ali Imran: 164)
Tazkiyah merupakan rahasia kesempurnaan amal-amal Islami. Dimana saja kaum Muslimin menyediakan diri dan kesungguhan untuk membersihkan jiwanya, di sana mereka akan dibebaskan dari kesalahan-kesalahan yang banyak. Dan ketika mereka meninggalkan urusan tazkiyah ini, pintu-pintu kekalahan terbuka di depan mata. Kaum pendengki yang melazimkan dirinya untuk menelan setiap kebencian, fitnah, dan kebohongan; mereka dijauhkan Allah Ta’ala dari rahmat yang besar ini.
Upaya tazkiyah dalam gerakan dakwah Syaikh Muhammad diwujudkan dengan membersihkan keyakinan dari kemusyrikan dan ajaran sesat; membersihkan amal dari perbuatan bid’ah; membersihkan diri dari kebohongan, khianat, dan kecurangan; melazimkan diri mengamalkan ibadah wajib dan sunnah, membasahi bibir dengan zikrullah, beristighfar, bertaubat, menyalurkan shadaqah, mencintai Rasulullah saw, mencintai Ahlul Bait Nabi r.a., mencintai para sahabat r.a., mencintai para ulama Salaf dan Khalaf yang lurus dan istiqamah, serta mencintai kaum Mukminin dan Muslimin.
Dr. Muhammad Farid, seorang ulama “Wahabi” menulis kitab Tazkiyah Nafs yang terkenal itu. Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah menulis kitab monumental, Madarijus Salikin. Ia menjadi rujukan para pengkaji topik penyucian jiwa ini. Ibnu Taimiyah rahimahullah juga menulis Amradhul Qulub wa Syifa’uha, sebuah kitab kecil seputar pembersihan jiwa. Ibnu Quddamah Al-Maqdisi rahimahullah, salah satu ulama rujukan kaum Wahabi, menulis kitab Minhajul Qashidin. Begitu pula, kitab Riyadhus Shalihin dan Arbain An-Nawawiyah, keduanya banyak dijadikan rujukan kaum santri Wahabi dalam rangka mensucikan jiwa dan kehidupan. Termasuk Kitabul Jami’, salah satu bab di akhir-akhir kitab Bulughul Maram karya Ibnu Hajar Al-Asqalani. Semua ini rujukan Syaikh Muhammad dan para pendukung dakwah beliau. Bahkan Syaikh Muhammad sendiri menyusun kitab Sirah Nabawiyah, sebagai bukti kecintaannya kepada Nabi saw.[26]
Termasuk salah satu karya kontemporer berharga, kitab Laa Tahzan yang ditulis oleh ulama muda Saudi, Dr. aidh Al-Qarni. Beliau pernah datang ke Indonesia untuk memberikan tausiyah di tengah umat. Kitab Laa Tahzan berisi aneka rupa nasehat untuk melembutkan hati dan bersikap tegar atas segala kesulitan hidup. Kitab ini menjadi best seller di Timur Tengah maupun di Indonesia. Karya seperti ini menjadi tambahan bukti kongkrit tentang kepedulian kepada tazkiyatun nufus.
Demikianlah pembahasan sekilas tentang konsep dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah. Kalau melihat semua itu, kita akan mudah menyimpulkan, bahwa ajaran dakwah beliau benar dan lurus, sesuai syariat Islam. Hal itu mudah dikenali dan diteliti, sebab bukti-bukti dan fakta sudah terbuka di depan mata. Tidak ada yang disembunyikan. Semua orang bisa melihat dan menilai, baik kawan atau lawan.
Kalaupun ada persoalan, biasanya hal itu berkaitan dengan devasi (penyimpangan orientasi) antara konsep ideal dengan praktik di lapangan. Dari sisi konsep, tidak ada masalah; seluruhnya lurus sesuai syariat Islam, insya Allah. Tetapi dalam tataran praktik di lapangan, tidak selalu ideal. Ya namanya manusia, ada yang kuat, pintar, dan bijaksana; tetapi ada juga yang lemah, kurang ilmu, dan sembrono.
Tetapi kita tidak boleh menghukumi suatu ajaran atas dasar perilaku oknum-oknum tertentu yang jatuh dalam kesalahan, sebab cara seperti itu tidak adil. Misalnya, ada seorang Muslim bernama Jamaluddin melakukan perbuatan mencuri. Kita tidak boleh menjatuhkan tuduhan bahwa Islam agama yang jahat, karena melihat perbuatan Jamaluddin itu. Perbuatan Jamaluddin ya tanggung-jawab dia sendiri, sedangkan Islam tanggung-jawabnya di sisi Allah Ta’ala yang menurunkan agama ini. Kaum orientalis dan misionaris seringkali menjadikan perbuatan Muslim sebagai dalih untuk menyerang Islam. Sementara mereka tidak mau melihat perbuatan mereka untuk menilai agama yang mereka peluk. Itulah sikap curang!
Jika perbuatan manusia bisa menjadi dalil untuk mem-vonis suatu keyakinan, maka Islam dan Rasulullah saw akan terus dihujat manusia karena kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh setiap Muslim. Dan hal seperti itu adalah kebatilan yang nyata. Nilai-nilai yang turun dari sisi Allah adalah Suci dan Haq; sedangkan apa amal perbuatan manusia, selain Nabi dan Rasul, tidak selamat dari kesalahan dan kekurangan. Semoga Alloh SWT senantiasa merahmati, melindungi, menolong, serta melapangkan jalan kita untuk mencapai ridha dan maghfira-Nya. Allahumma amin[27].

PENUTUP
            Tidak ada yang salah dengan istilah salaf/salafy. Orang islam yang beriman dan mencintai agamanya tentu akan mematuhi perintah Allah dan RasulNya. Menjadi generasi seperti generasi terbaik, atau minimal meneladani generasi terbaik merupakan impian dan keniscayaan bagi orang yang beriman. Mereka adalah gambaran yang sangat ideal untuk kemudin kita sebut sebagai khairul bariyyah.
            Namun, makna salafi kemudian terdegradasi, atau sengaja didegradasi untuk seseorang yang mempunyai pemahaman dan praktek-praktek keagamaan tertentu. Di luar kriteria tersebut mereka dianggap berada di luar kelompok salafi. Pemahaman seperti inilah yang menimbulkan perpecahan di dalam umat islam. Masing-masing kelompok menamai dirinya sebagai "kelompok salafi" atau menisbatkan diri sebagai pengikut generasi terbaik yang digambarkan oleh Rasulallah. Akibatnya timbul berbagai firqah yang tidak seharusnya terjadi.
            Keadaan seperti ini menunut kita untuk menelaah kembali istilah salaf/salafiy yang tersebar diantara umat islam. Dengan penuh kesadaran, kita harus merujuk dan mendalami bagaimana para salafiyyun memahami dan mempraktekkan agama islam, sehingga kata salaf tidak hanya menjadi term yang melekat pada suatu gerakan atau organisasi tertentu yang justru akan membuat suatu kesan bahwa Islam adalah agama yang inklusif. Karena bagaimanapun sebagian orang akan melihat Islam dari gerakan keagamaan yang ada sebagai perwujudan dari pemahaman keagamaan seseorang atau suatu golongan. Sudah selayaknya kita meletakkan istilah dan menggunakan istilah ini secara lebih bijaksana agar tidak terjadi lagi konflik internal umat islam.  
            Menganalisis data-data yang telah kami kumpulkan dan kami baca, kami coba mengetengahkan kaum salafi dalam pandangan kami. Sesuai yang telah kami paparkan dalam makalah ini, bahwa sikap orang-orang umumnya dunia dan terkhusus warga Indonesia, terpecah setidaknya menjadi tiga kubu dalam hal memandang dan menyikapi kaum salafi atau kaum wahabi ini.
·         Yang petama adalah menolak secara apriori segala tindak tanduk gerakan dakwah kaum salafi ini, mengecap ulama-ulamanya sebagai ulamaa'u as-Suu', bahkan mencoba membuat propaganda dan gerakan untuk mengapuskan golongan wahabi yang menurut mereka sesat dan akan menipu dayakan orang islam jika terus berkembang, seperti syekh idahram yang mengarang tiga buku yang mengupas kebusukan dan kebejatan kaum salafi selama ini. Melihat judulnya saja kita bisa mengambil kesimpulan bahwa kaum salaf merupakan aliran sesat sama seperti muktazilah, khawarij atau bahkan lebih parah, syekh idahram, yang setelah ditelusuri ternyata nama aslinya "marhadi mukhayyar", menuliskan judul propaganda di tiga bukunya: "sejarah berdarah sekte salafi wahabi; mereka membunuh semuanya termasuk para ulama, mereka memalsukan kitab-kitab karya ulama klasik, ulama sejagad menggugat salafi wahabi"[28]. Penolakan apriori ini juga dapat ditemukan pada kelompok NU. Kalangan NU membuat spanduk-spanduk di masjid yang isinya menolak "salafi Wahabi". Dalam acara harlah NU di Gelora Bung Karno, tanggal 17 juli 2011 lalu, GP Anshor mendeklarasikan Densus 99 untuk membantu aparat polisi memberantas terorisme. Sementara yang kerap diituduh sebagai teroris oleh mereka adalah salafi wahabi.
·         Yang kedua, merupakan sikap yang berlawanan dengan kelompok pertama. Yaitu orang-orang yang menerima secara utuh tanpa mengklasifikasi faham-faham dan gerakan-gerakan yang bisa merugikan gerakan salafi sendiri dan juga merugikan umat Islam pada umumnya, mereka seperti Ja'far Umar Thalib, yang telah kami jelaskan diatas panjang lebar. Menganggap diluar pemahaman dakwah wahabi tidaklah benar, dan membuat laskar jihad yang menjalankan dakwahnya dengan kekerasan.
·         Yang ketiga golongan yang tidak menolak secara apriori tidak pula mengikuti secara membabi buta.
Pada kelompok yang ketiga ini, kami menempatkan diri, untuk menyikapi salafi wahabi dengan segala faham, gerakan dan dakwahnya. Hal ini –bagi kami- merupakan sikap yang paling adil, karena sesuai paparan kami, inti dakwah dan ajaran salafi tidaklah menyimpang, pun juga dilihat dari sejarah munculnya, wahabi dibangun atas landasan semangat bertauhid yang tinggi dan keprihatinan atas praktek-praktek ibadah yang tidak sesuai tuntunan, yang itu semua juga merupakan faktor penting KH Ahmad Dahlan untuk mendirikan organisasi Muhammadiyah –organisasi yang menjadi wahana dakwah bagi kami-. Meski kami tidak memungkiri bahwa ada beberapa tindakan yang tidak selaras dengan pola dan manhaj dakwah kami yaitu dakwah Muhammadiyah, salah satu yang paling mencolok ialah pola dakwah dengan memakai sedikit kekerasan, dan sebutan kafir yang mudah terlontarkan. Tapi tidaklah bijak jika dengan hanya faktor ini kita langsung menyatakan bahwa salafi merupakan gerakan dakwah yang sesat, tuduhan itu terlalu berlebihan menurut kami. Yang paling bijak adalah tidak menghakimi wahabi salafinya tapi lebih pada orang per orang yang mengaku salafi dan melakukan tindakan yang sedikit menyimpang tersebut, karena hal ini ibarat orang islam dengan ajaran Islamnya, ketika seorang yang mengaku Islam berbuat salah, maka bukan berarti ajaran Islamnya yang bermasalah. Permasalahan ini pun merupakan permasalahan umum yang ditemukan di semua lembaga atau organisasi termasuk Muhammadiyah. Ulama-ulama salafi, dan para pengikutnya adalah manusia biasa, mereka bukan nabi yang ma'sum sehingga bisa saja salah, begitu juga dengan kita. Sebagai sesam muslim yang memperjuangkan Islam, sebaiknya kita saling dukung mendukung dan untuk beberapa kesalahan, kita saling nasehat menasehati dan mengkritik dengan cara yang arif lagi bijaksana.









Wallahu a'lam bisshawab


[1]Deliar Noer, The Modernist Muslim In Indonesia  (Jakarta: PT Pustaka LP3ES, 1996), hlm. 235.
[2] Ibrahim Madkur, Mu'jam al-Wasith (Kairo: Maktabah asy-Syuruq ad-Dauliyah, 2011), hlm. 461
[3]Syaikh Idahram, Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi (Yogyakarta, Pustaka Pesantren, 2011), hlm 23
[4] Ibid, 23.
[5]Syaikh Muhammad Al-Ghazali, Islam yang Diterlantarkan (Bandung: Karisma, 1994), hlm. 13.
[6] AM. Waskito, Bersikap Adil Terhadap Wahabi (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2011), hlm. 177.
[7] A.Hanafi MA, pengantar teologi Islam halaman 175,
[8] Lihat Islam yang diterlantarkan halaman 13
[9] Ibid, hlm. 255.
[10] Ibid, hlm. 188.
[11] Saudara tri, charis thohari dan ayub.
[12] A. Hanafi, M.A, Pengantar Teologi Islam............., hlm. 197.
[13] Id.m.wikipedia.org/wiki//Tuanku_Imam
[14] Delian Noer, The Modernis Muslim In Indonesia..........., hlm. 40.
[15] Ibid, hlm. 42.
[16]Inti sari buku delian noer bab 1 Asal Usul dan pertumbuhan gerakan modern Islam : Gerakan Pendidikan dan Sosial.
[17]Abdirrahman al-Thalibi merupakan orang yang menulis buku dakwah bijak dakwah salafi, dia juga dikenal dengan   AM waskito, nama ini dia pergunakan ketika mengarang buku berlaku adil terhadap Wahabi, bukua yang menjadi bantahan trilogy buku Syaikh ihdahram yang mendiskrediktkan gerakan Wahabi, adapun pembagian salafi modern menjadi haraki/ sururi dan yamani merupakan analisis beliau, namun pada akhirnya beberapa kalangan salafi sendiri kurang setuju terhadap pembagian tersebut
[18]Bukti-bukti adanya perbedaan ini kami kutip dari tulisan abulmiqdad.multiply.com, seorang mahasiswa program pasca sarjana Universitas Indonesia Program Studi Kajian Timur Tengah dan Islam Kekhususan Kajian Islam.
[19] Kitab Riyadhus Shalihin ini sangat dipuji-puji oleh para ulama “Wahabi”, seperti Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah. Beliau menyarankan umat agar membaca kitab ini dan mengambil faedah-faedah darinya. Syaikh Shalih Al Utsaimin rahimahullah hingga menulis syarah atas kitab ini. Murid Syaikh Al Bani rahimahullah juga menulis syarah atas kitab ini. Seorang Ustadz Salafi di Jakarta yang bernama Ustadz Abdul Hakim Abdat mempromokan kitab ini dengan aneka pujian. Uniknya, kitab Riyadhus Shalihin ini popular di kalangan kyai-kyai NU dan juga pengikut Jamaah Tabligh. Seharusnya, titik kesamaan seperti ini dihargai dan bisa menjadi jalan untuk saling mendekat dan meminimalisir perbedaan-perbedaan yang ada.
[20] Riyadhus Shalihin, karya imam Abu Zakariya Yahya bin Syarf An Nawawi Ad Dimasyqi. Cetakan Daarul Fikr, Beirut, tahun 1994 M. lihat hal. 43-47.
[21]Balam buku SBSSW (Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi), hlm. 169, si penulis menyebut kaum Wahabi sebagai Khawarij dengan cirri “berpakaian menggantung”. Di hlm. 164 dia menyebut “celana nggantung”. Padahal berpakaian seperti ini termasuk sunnah. Imam Nawawi dalam Riyadhus Shalihin, hlm. 165 menyebut perkataan, “Wa tahrimi isbali syai’in min dzalika ‘ala sabilil khuyala’I wa karahatihi min ghairi khuyala’i ” [Dan haram hukumnya menurunkan (gamis, celana, atau sarung) di bawah mata kaki jika disertai rasa sombong, dan makruh hukumnya jika tidak disertai rasa sombong]. Jika seorang menaikkan celana dengan niatan ikhlas mengikuti sunnah, lalu dituduh sebagai Khawarij, berarti Imam Nawawi rahimahullah termasuk “imam Khawarij”. Na’udzubillahi min dzalik.
[22]Sebagian besar pengeritik dakwah Wahabi enggan berbicara tentang sosok Raja Faishal Al-Saud. Sebab dalam riwayat beliau banyak ditemukan ciri-ciri kesalehan dan keberanian. Beliau berani memblokade Amerika dari sisi suplai minyak, karena Amerika terus menolong Israel. Beliau juga komitmen dengan ide membangun kembali Khilafah Islamiyah setelah runtuhnya. Dr. Yusuf Al-Qaradhawi menyebut beliau sebagai sosok Raja yang saleh. Buya Muhammad Natsir rahimahulloh memiliki hubungan khusus dengan Raja Faishal. Bahkan beasiswa-beasiswa belajar studi Islam di Saudi dibuka untuk pelajar-pelajar Indonesia, setelah terjadi kesepakatan antara Buya M. Natsir dengan Raja Faishal. Dari beasiswa ini nantinya Said Aqil Siradj bisa kuliah di Makkah, dan keempat anaknya lahir di Kota Suci kaum Muslimin itu. Keutamaan ilmu dan akhlak Buya Natsir membuatnya menjadi sahabat Raja Faishal. Hebatnyam Buya Natsir tidak pernah meminta fasilitas untuk kepentingan pribadinya. Beliau meminta fasilitas untuk anak-anak kaum Muslimin. Tetapi ada manusia yang “14 tahun” mendapat kemurahan kaum Wahabi, kemudian malah menyerang mereka dengan sangat sengit! Masya Allah!
[23]Tentang makar Inggris yang mendukung Faishal Ad-Dawisy ini, bisa dibaca di buku, Jalan Ke Makkah, hal. 267-296. di sini sang penulis (Ustadz Muhammad Asad) mengalami sendiri pengalaman menjalankan misi rahasia dari Raja Abdu’ Aziz Al-Saud untuk menyelidiki gerakan Faishal Ad-Dawisy di Kuwait. Beliau menunaikan misi dibantu teman dekatnya, Zaid.
[24]Dari rombongan inilah nanti muncul sosok Usamah bin Ladin dan gerakan Al-Qaidah. Gerakan Al-Qaidah itu secara akidah merujuk kepada konsep Syaikh Muhammad At-Tamimi, namun dalam urusan qital dan konflik, mereka memiliki tinjauan tersendiri. Namun pada awalnya, mereka ini barisan para Mujahidin yang sama-sama ingin membebaskan negeri Muslim dari penjajahan kufar.
[25] Malah sudah menjadi rahasia umum, seorang mantan Ketua PBNU dan aktivis-aktivis SEPILIS; mereka ini akrab dengan kaum Yahudi dan pernah keluyuran ke Israel sana. Mantan Ketua PBNU itu pernah mendapat Medal of Valor dari lembaga Yahudi Internasional di Amerika. Kok bisa orang-orang seperti ini mencela kaum Wahabi dengan alasan telah membantu Israel?
[26]Kitab ini ada, meskipun kurang terkenal. Saya pernah melihat kitab itu di Perpustakaan PUSDAI Bandung. Sebuah kejutan tak disangka, ternyata Syaikh Muhammad juga menulis Sirah Nabawiyah.
[27] Dikutp dari buku bersikap adil terhadap wahabi bab dakwah dan ajaran wahabi.
[28] AM. Waskito, Bersikap Adil Terhadap Wahabi….. hlm. xvi   

0 komentar:

Posting Komentar

bagi yang tau kesopanan, silahkan berkomentar

 
;